
Technomo.my.id – Meningkatnya penetrasi internet telah mengubah cara orang berkomunikasi dan mencari informasi. Hal yang sama berlaku untuk bagaimana orang mengkonsumsi informasi.
Data dari 277,7 juta penduduk Indonesia, 244,7 juta pengguna internet dan 191,4 juta pengguna aktif media sosial per Januari 2022.
Sebelumnya, pencipta atau penghasil informasi berasal dari media massa tradisional seperti radio, televisi, dan surat kabar. Kini platform digital memungkinkan siapa saja menjadi pencipta informasi melalui media sosial.
“Sayangnya, dunia internet tidak seindah kelihatannya. Seringkali seperti hutan belantara.” kata Gosivinalti dalam webinar baru-baru ini di Balikpapan berjudul “Opium Sosial, Waspadai Stres dari Media Sosial” : kata. .” Di sisi lain, itu juga memiliki efek negatif dan kurang berbahaya.
Dan mengingat bahwa banyak contoh ujaran kebencian dan penyebaran berita palsu (penipuan) dapat mengarah pada kejahatan, ia memperingatkan agar tidak jatuh ke dalam perangkap media sosial.
Pada hari Jumat, 21 Oktober 2022, Josivinalti mengatakan, “Sebenarnya, beberapa orang terpaksa kehilangan pekerjaan karena mengabaikan unggahan media sosial. Ini karena rendahnya etika media sosial.” Beberapa pengguna menggunakannya”.
Dalam webinar yang diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika ini dalam rangka Transformasi Siber Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD), dosen Diana Anggraini dari Universitas Vikum Pancasila menambahkan, aktivitas media sosial harus tetap terjaga kewajarannya.
“Media sosial adalah pertaruhan atas nama baik atau reputasi seseorang, karena mengungkapkan karakter penggunanya,” ujarnya.
Selain masalah reputasi, lanjutnya, media sosial juga dikaitkan dengan masalah keamanan data pribadi yang rawan disalahgunakan, seperti dalam cybercrime.
“Makanya saya butuh saran di media sosial. Di antaranya, upload yang positif saja, jangan mudah melihat data pribadi, amankan perangkat dan akun dengan kata sandi yang kuat, dan hindari menggunakan Wi-Fi publik.”
Sementara itu, konsultan digital dan pendiri Akademi RTIK Indonesia, Alamsurya Kubara Indriharto, mengingatkan kita bahwa tantangan budaya digital saat ini adalah kaburnya wawasan kebangsaan, menipisnya sastra dan kesantunan, serta hilangnya budaya asli Indonesia.
Jadi, menurutnya, menjadi warga digital yang menganut nilai-nilai Pancasila berarti menerapkan prinsip penyaringan sebelum berbagi atau berbagi informasi dengan orang lain. Hal ini untuk mencegah kemungkinan penyebaran penipuan.
“Dunia digital adalah dunia kita saat ini. Mari kita isi dan jadikan sebagai tempat pendidikan, tempat belajar dan berinteraksi, tempat kita hidup sebagai bangsa yang bermartabat.”